Berawal dari hobi, pasangan Albert dan Julia membesut Pinot Bread, gerai roti dan kue bebas dari bahan pengawet, pemanis dan perasa buatan. Lima tahun berdiri, kini omsetnya mencapai miliaran rupiah per bulan. Mau tahu kiatnya?.
Albert (46 tahun) dan Julia (44 tahun) adalah pasangan suami-istri pencinta makanan. Terutama, roti sehat tanpa bahan pengawet dan perasa buatan serta bercitarasa tinggi. Sayang, di Indonesia mereka sulit menemukannya. “Setiap kali kami mencicipi roti di luar, kami selalu merasa ada yang kurang. Ketika kami beritahu kepada penjual bagaimana cara membuat roti yang baik, kami malah diomelin. Teman-teman juga bilang, mana ada yang membuat roti seperti itu,” ujar Julia mengenang masa lalu sambil tersenyum kecil.
Namun, itu dulu. Kini, Albert dan Julia berhasil membuktikan keyakinannya lewat Pinot Bread, produsen roti sehat yang mereka besut bersama dan sekarang telah memiliki 11 gerai dengan omset miliaran rupiah per bulan. Semua ini diawali dari keengganan Albert mengikuti selera mainstream roti modern yang cepat saji. Setelah berembuk dengan istrinya, Julia yang hobi memasak itu, akhirnya dipilihlah konsep roti Jepang yang dibuat dengan cara tradisional plus bebas bahan pengawet. “Karena, kami mendapat informasi bahwa orang Jepang menemukan kembali cara membuat roti seperti saat pertama kali dibuat dulu di abad pertengahan,” ujar Julia, sarjana hukum dari Universitas Tarumanagara.
Tak mau tanggung-tanggung, Julia pun hijrah ke Jepang selama sebulan. Selain Jepang, Julia juga belajar aneka cake di Filipina, Taiwan dan berbagai negara Eropa. Begitu ilmu didapat, ia segera kembali ke Tanah Air. Tanpa ragu, mereka berdua kemudian menjual rumah mereka di kawasan Kebon Jeruk. Dengan mengantongi dana Rp 500 juta dari hasil penjualan rumah, pada 13 Juli 2005 mereka mendirikan gerai Pinot Bread kedua, di Jalan Meruya Ilir, Jakarta Barat, yang kini menjadi kantor pusat mereka. Slogan citra yang diusung sesuai dengan visinya: “Where Good Taste Comes Naturally”. Pinot Bread sendiri sebenarnya merupakan rebranding dari Pinot Coffee, gerai kopi yang mereka dirikan pada 2001 di Gedung Artha Graha.
Ternyata upaya Albert dan Julia berbuah legit. Banyak yang menyukai roti kreasi mereka yang bercirikan tekstur lembut dan tidak meninggalkan after taste dimakan. Sejak itulah, ekspansi terus dilakukan dengan bermodalkan dana sendiri, plus mengambil kredit pemilikan rumah (KPR). “perlu KPR untuk membangun pabrik pertama di samping toko kedua di Meruya Ilir,”tutur Albert, mantan konsultan teknologi informasi lulusan Manajemen Informatika Universitas Bina Nusantara.
Gerainya terus bertambah dan kini mencapai 11. Lokasinya di gedung perkantoran atau daerah elite. Sebut saja, Sampoerna Strategic Square, La Codefin-Kemang, Menteng, Menara Mulia, dan Menara Standard Chartered yang baru saja dibuka. Gerai-gerai Pinot berukuran 20 m2. Sementara di Menara Mulia dan Menara Standard Chartered berukuran 120-160 m2.
Pinot sengaja menyasar kalangan atas karena ongkos produksinya memang mahal dan selalu mengutamakan kualitas. “memilih bahan baku yang berkualitas tinggi,”ujar Albert. Tepung terigu diimpor dari Jepang, butterdan susu dari Selandia Baru, serta telur sudah dipasteurisasi alias bebas bakteri. Bahkan, sebelum sampai ke pusat pengolahan di Meruya, telur-telur pesanannya harus dicuci dulu kulitnya agar bebas dari kotoran hewan. Aneka kue dan roti Pinot juga diperkaya dengan keju impor dari Jepang, Selandia Baru dan Italia. “membuat choux éclairkami juga menggunakan cocoa butterdari Belgia dan Prancis, jadi bahan kami benar-benar pilihan,”tambah Albert, yang diangguki Julia.
Pengerjaannya pun memakan waktu, minimal 6 jam. “, ada adonan yang harus diendapkan semalaman, terus dicampur adonan baru, dibiarkan 6 jam, dikempeskan, baru dipanggang. Hasilnya, tekstur roti jadi sangat lembut,” kata Albert. “Kalau roti biasa hanya butuh tiga jam dengan pengembang sudah jadi.”
“Roti Pinot itu berbeda dari yang pernah saya makan. Rasanya sangat lembut, makanya saya sering beli,”ujar Alang, seorang notaris yang ditemui SWA tengah berbelanja roti untuk keluarganya di Pinot Bread Meruya. Adapun Cindy, gadis muda yang bekerja di Kantor Pos, mengaku terkesan dengan kelembutan roti Pinot.
“Harga tepung terigu kami dua kali lipat dari harga tepung biasa,”kata Albert. Agar harga jualnya tidak memberatkan konsumen, Pinot mengorbankan margin labanya. “itu umumnya mengambil margin 30% lebih, sementara kami di bawah 20% agar harga produk kami tetap terjangkau,”ujarnya. Sepotong roti kecil dijual seharga Rp 5.500-10 ribu. Sementara aneka cake kecil berharga Rp 20-an ribu. Meski demikian, yang cukup lumayan adalah harga cake-nya, dari Rp 200 ribu untuk ukuran 20×20 cm hingga Rp 1 juta lebih untuk yang berukuran 30×40 cm, tergantung jenisnya.
Meski harganya terbilang mahal, Pinot sering kewalahan meladeni permintaan konsumen. Ketika SWA bertandang ke Pinot, misalnya, Julia berkali-kali menanyakan kepada karyawannya ketersediaan Yokohama Cream Cheese, roti signaturePinot Bread. Begitu roti tersebut datang, pembeli langsung menyambarnya. “selalu kehabisan roti itu,”ujar Julia.
Konsekuensi dari penggunaan bahan baku pilihan tanpa disertai bahan pengawet, perasa dan pemanis buatan, roti Pinot hanya bertahan 2-3 hari. “,” kata Albert, ”kami pesankan ke pembeli, jangan beli banyak-banyak karena hanya kuat 2-3 hari. Kalau mau lagi, tinggal balik ke sini atau pesan antar.”
Berawal dari 3-4 karyawan, kini jumlah karyawan Pinot Bread mencapai 150 orang. Pertengahan 2009, Pinot menambah satu lagi pabriknya di Pondok Gede seluas 800 m2. “pabrik ada head pastry, bakery, cookies,dan sebagainya. Saya sendiri turut mengawasi seminggu sekali,”kata Albert yang mengaku menjual tanah pribadi di daerah kelahirannya, Cilacap, Jawa Tengah, untuk bisa membeli pabrik roti tersebut.
Membesarnya produksi Pinot membuat Albert dan Julia memikirkan ulang pola produksinya. Salah satu contohnya, dua pabrik yang disebut Albert dengan divisi produksi itu, ke depan, akan dijadikan badan hukum tersendiri. “pabrik akan menerima feeproduksi saja,”katanya. Saat ini sistemnya sudah dimulai. Setiap konter memesan sendiri ke pabrik, dengan demikian mereka menjadi mandiri. Diharapkan juga sistem ini akan mengefisiensikan proses produksi karena pesanan konter bakal lebih terkontrol.
Pinot juga mengefektifkan produksinya. Kini, perencanaan pembuatan roti dan kue dibagi dua waktu: perencanaan mingguan dan harian. Setiap Jumat semua gerai diminta membuat perencanaan mingguan. Tujuannya, agar pabrik di Pondok Gede bisa memperkirakan produksi selama seminggu. Selain itu, setiap malam semua konter diminta membuat prediksi penjualan keesokan harinya berdasarkan penjualan hari ini. Pesanan harian ini akan ditangani pabrik di Meruya Ilir. “begini, kami bisa mengurangi wastemenjadi 3%. Sebelumnya, wastekami di atas 5%,”ujar Albert. Mengurangi produk terbuang sangat penting bagi Pinot karena produk yang berbahan daging ditarik setiap 12 jam. Sementara produk berbahan keju dan cokelat ditarik setiap 24 jam.
Rata-rata dalam sehari masing-masing gerai Pinot mampu menjual 400-700 potong roti. Sementara gerai yang sekaligus menjadi kantor pusatnya di Meruya bisa menjual 1.500 potong roti. Adapun produk cake terjual hingga 40 kotak/hari. “semua penjualan di hari normal. Kalau di momen hari raya bisa mencapai 10 kali lipatnya,”Albert menjelaskan.
Pinot juga cukup gencar mengenalkan produk-produknya. Di antaranya, menggelar promo di hari raya. “biasa promo saat Natal, Lebaran dan juga saat hari Valentine dengan meluncurkan cake ,”kata Albert. Saat pembukaan cabang baru dan ulang tahun Pinot, mereka memberikan kepada pelanggan yang minimal Rp 25 ribu. Pinot juga “”melalui sinetron. Jika diperhatikan, beberapa sinetron seperti Cinta Fitrimenayangkan ucapan terima kasih kepada Pinot Bread pada setiap akhir tayangannya. “gara-gara artis yang suka Pinot meminta produsernya bekerja sama dengan kami untuk menyediakan makanan dengan imbalan iklan. Akhirnya sampai sekarang ada sekitar lima sinetron yang bekerja sama dengan Pinot,”ungkap Albert.
Untuk mengenali pelanggan, Pinot membangun database pelanggan yang saat ini jumlahnya mencapai 1.000 konsumen. Untuk masuk sebagai anggota khusus itu, pelanggan harus berbelanja minimal Rp 1 juta di bulan pertama. Keuntungannya, mereka selanjutnya akan mendapat diskon 10% setiap kali berbelanja lagi.
Untuk lebih mengembangkan lagi bisnisnya, Pinot berencana mewaralabakan usahanya. “kami benar-benar hati-hati dalam pembuatan sistemnya. Makanya, berbagai sistem kami ujicobakan sekarang,”ujar Albert.
Albert dan Julia memang serius membesarkan usahanya. Hal ini diakui Kiki Puspitasari, karyawan Pinot Bread Meruya yang sudah bekerja selama 9 bulan. “dan bapak sangat mengutamakan servicekepada pelanggan. Kami semua diajari cara menyapa pelanggan dan melayani konsumen dengan baik,”tutur Kiki.
Andre Vincent Wenas, praktisi bisnis dan dosen di IPMI Business School, menilai Pinot Bread membidik pasar ceruk yang sadar kesehatan. Di Indonesia, pasar golongan tersebut berada di kelas menengah-atas. Karena itu, Pinot memang harus tampil di tempat-tempat yang cukup premium seperti gedung perkantoran elite. “omset dan jumlah karyawannya, nampaknya penawaran mereka sudah diterima early adopter. Selanjutnya, harus dibangun customer relationship managementagar pelanggan tersebut bisa menjadi duta dan mereferensikan Pinot. Promosi referal paling ampuh untuk produk menengah-atas,”saran Andre.
Source:
http://swa.co.id/2010/04/sejoli-menggarap-roti-sehat/
No comments:
Post a Comment